Sabtu, 06 September 2014

Paradigma Sekolah Unggulan ....

ELAMA ini, tidak jarang sekolah yang mengklaim dirinya sebagai sekolah unggulan. Beragam upaya dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut, di antaranya melakukan sertifikasi ISO, menaikkan status sekolah menjadi SBI (Sekolah Berstandar Internasional), menyekolahkan tenaga pengajar ke jenjang magister (S2), dan lainnya. Bahkan, berdalih sebagai sekolah unggulan, siswa yang disaring pun hanya siswa yang memiliki kualifikasi akademik tinggi. Sehingga sangat sulit ditemukan siswa “bodoh” di sekolah-sekolah yang mengklaim sebagai sekolah unggulan tersebut.

Satu lagi, yang sudah menjadi rahasia umum bagi sekolah unggul adalah biaya pendidikan yang tidak lagi dapat dijangkau masyarakat ekonomi lemah. Alhasil, hanya siswa yang memiliki modal ekonomi tinggi saja yang dapat menikmati sekolah unggul tersebut. Hal inilah, yang menjadi akar munculnya kesenjangan bagi siswa bodoh dan pintar, siswa kaya dan miskin, dan sekolah unggul dan tidak (baca: belum) unggul. Parahnya, terdapat sebagian sekolah yang hanya menempelkan istilah “unggul” pada sekolahnya dengan tujuan menarik minat masyarakat agar mereka mau menyekolahkan putra-putrinya pada lembaga tersebut. Hal ini akan membuat citra pendidikan semakin tidak jelas dan tidak memiliki arah.
Namun, yang perlu mendapat perhatian adalah siswa unggul tidak mesti lahir dari sekolah unggulan. Kadang kita temukan siswa pandai yang justru keluaran dari sekolah-sekolah pinggiran yang fasilitasnya jauh dari kelayakan. Sementara, tidak ada jaminan sekolah unggul mesti melahirkan lulusan yang juga unggul. Ada juga siswa yang “amburadul” lahir dari sekolah unggulan. Melihat fakta demikian, maka yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana sebenarnya seharusnya indikator sekolah yang mengklaim sekolah unggulan? Apakah sekolah yang hanya menerima siswa unggul atau sekolah yang bertekad untuk mencetak siswa-siswanya menjadi siswa unggul?
Ide Munif chatib (2009) –sebagaimana yang ditulis dalam blog pribadinya- tentang sekolah unggul, yakni sekolah yang tidak menitikberatkan pada kualitas akademik siswa-siswa baru yang masuk ke sekolah. Dengan kata lain, sekolah unggulan adalah sekolah yang menganut paham ”The Best Process” bukan ”The Best Input”. Akibatnya, sekolah unggul seyogianya dengan suka cita menerima semua siswa dalam kondisi apapun. Lebih lanjut, Chatib mengurai indikator sekolah yang menganut ”The Best Process” sebagai berikut.
Pertama, Sekolah unggul tidak menerapkan tes masuk pada siswa barunya. Biasanya sekolah ini menggunakan sebuah perangkat riset untuk mengetahuai kondisi kemampuan siswa yang masuk ke sekolah tersebut. Perangkat ini dikenal dengan Multiple Intelligence Research (MIR) yang mampu mengetahui banyak dimensi kondisi kemampuan dan kekurangan siswa terutama tentang bagaimana gaya belajar siswa.
Kedua, Sekolah dan guru pada sekolah unggul akan mendapatkan sebuah kenyataan tentang kemampuan akademik dan moral siswa-siswa barunya sangat beragam. Sehingga hal ini merupakan tantangan bagi guru untuk mengubah menjadi ke arah positif. Akhirnya guru-guru di sekolah unggul dituntut menjadi ”agen perubah”. Mengubah kondisi akademik dan moral siswa yang negatif menjadi positif.
Ketiga, Menurut Tom J. Parkins, sekolah yang demikian merupakan sekolah yang sebenarnya, sekolah yang menerima segala kondisi siswanya. Kemudian kondisi itu dipelajari dan diteliti, lalu dengan data tersebut, para guru mencoba mengembangkan kemampuan siswa-siswanya dengan cara yang berbeda-beda. Sekolah unggul adalah sekolah yang menitik beratkan pada kualitas proses pembelajaran, dan ini ada pada pundak guru, bukan pada kualitas input siswanya.
Keempat, Guru-guru pada sekolah ini biasanya kreatif, sebab meyakini bahwa gaya mengajar guru tersebut harus disesuaikan dengan gaya belajar siswanya. Tuntutan mengajar dengan pola demikian hanya dapat dilakukan oleh guru-guru yang handal, punya dedikasi dan kompetensi mengajar yang baik. Dengan demikian sekolah yang menerapkan konsep ini, biasanya jadwal pelatihan guru sangat padat. Guru benar-benar diharapkan profesional dan menjadi agen perubah.
Sungguh, luar biasa jika setiap sekolah di Indonesia melakukan restrukturisasi sekolah unggulan sebagaimana indikator di atas. Setiap sekolah akan berlomba-lomba melakukan proses pembelajaran yang dianggap terbaik, yang tentunya akan berdampak pada kualitas lulusan yang baik pula. Dengan tidak melakukan seleksi siswa pada penerimaan siswa baru, maka akan meniadakan kesenjangan antara sekolahyang satu dengan sekolah yang lain, antara siswa satu dengan siswa lainnya.
Dari uraian di atas, maka hakikat sekolah unggul ditinjau dari perspektif multiple intelligences adalah sekolah yang memiliki keunggulan dalam pelayanan kepada siswa dengan memberikan kesempatan untuk mengembangkan kecerdasan siswa seoptimal mungkin. Berpijak pada hal inilah, maka setiap sekolah –tanpa mengklaim dirinya sebagai sekolah unggulan- yang berhasil mengubah paradigma, dari the best input menjadi the best process dan the best output, maka secara otomatis, masyarakat akan mengklaim bahwa sekolah yang demikianlah, yang layak menjadi sekolah unggulan.
Dengan mengubah paradigma inilah, kiranya kita yang selama ini selalu mengidentikkan sekolah unggul merupakan sekolah yang didesain dengan bangunan megah yang melakukan seleksi siswa secara ketat menjadi sekolah yang “apa adanya”. Sekolah unggul merupakan sekolah yang “berani” menerima siswanya dengan kondisi apa pun, yang selanjutnya diberikan proses pembelajaran yang berkualitas (the best proccess). Dengan demikian, sekolah tersebut akan mampu melahirkan lulusan-lulusan berdaya saing tinggi (the best output) yang mampu berkompetisi di masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar