Satu lagi, yang sudah menjadi rahasia
umum bagi sekolah unggul adalah biaya pendidikan yang tidak lagi dapat
dijangkau masyarakat ekonomi lemah. Alhasil, hanya siswa yang memiliki
modal ekonomi tinggi saja yang dapat menikmati sekolah unggul tersebut.
Hal inilah, yang menjadi akar munculnya kesenjangan bagi siswa bodoh dan
pintar, siswa kaya dan miskin, dan sekolah unggul dan tidak (baca:
belum) unggul. Parahnya, terdapat sebagian sekolah yang hanya
menempelkan istilah “unggul” pada sekolahnya dengan tujuan menarik minat
masyarakat agar mereka mau menyekolahkan putra-putrinya pada lembaga
tersebut. Hal ini akan membuat citra pendidikan semakin tidak jelas dan
tidak memiliki arah.
Namun, yang perlu mendapat perhatian
adalah siswa unggul tidak mesti lahir dari sekolah unggulan. Kadang kita
temukan siswa pandai yang justru keluaran dari sekolah-sekolah
pinggiran yang fasilitasnya jauh dari kelayakan. Sementara, tidak ada
jaminan sekolah unggul mesti melahirkan lulusan yang juga unggul. Ada
juga siswa yang “amburadul” lahir dari sekolah unggulan. Melihat fakta
demikian, maka yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana sebenarnya
seharusnya indikator sekolah yang mengklaim sekolah unggulan? Apakah
sekolah yang hanya menerima siswa unggul atau sekolah yang bertekad
untuk mencetak siswa-siswanya menjadi siswa unggul?
Ide Munif chatib (2009) –sebagaimana
yang ditulis dalam blog pribadinya- tentang sekolah unggul, yakni
sekolah yang tidak menitikberatkan pada kualitas akademik siswa-siswa
baru yang masuk ke sekolah. Dengan kata lain, sekolah unggulan adalah
sekolah yang menganut paham ”The Best Process” bukan ”The Best Input”.
Akibatnya, sekolah unggul seyogianya dengan suka cita menerima semua
siswa dalam kondisi apapun. Lebih lanjut, Chatib mengurai indikator
sekolah yang menganut ”The Best Process” sebagai berikut.
Pertama, Sekolah unggul tidak menerapkan
tes masuk pada siswa barunya. Biasanya sekolah ini menggunakan sebuah
perangkat riset untuk mengetahuai kondisi kemampuan siswa yang masuk ke
sekolah tersebut. Perangkat ini dikenal dengan Multiple Intelligence
Research (MIR) yang mampu mengetahui banyak dimensi kondisi kemampuan
dan kekurangan siswa terutama tentang bagaimana gaya belajar siswa.
Kedua, Sekolah dan guru pada sekolah
unggul akan mendapatkan sebuah kenyataan tentang kemampuan akademik dan
moral siswa-siswa barunya sangat beragam. Sehingga hal ini merupakan
tantangan bagi guru untuk mengubah menjadi ke arah positif. Akhirnya
guru-guru di sekolah unggul dituntut menjadi ”agen perubah”. Mengubah
kondisi akademik dan moral siswa yang negatif menjadi positif.
Ketiga, Menurut Tom J. Parkins, sekolah
yang demikian merupakan sekolah yang sebenarnya, sekolah yang menerima
segala kondisi siswanya. Kemudian kondisi itu dipelajari dan diteliti,
lalu dengan data tersebut, para guru mencoba mengembangkan kemampuan
siswa-siswanya dengan cara yang berbeda-beda. Sekolah unggul adalah
sekolah yang menitik beratkan pada kualitas proses pembelajaran, dan ini
ada pada pundak guru, bukan pada kualitas input siswanya.
Keempat, Guru-guru pada sekolah ini
biasanya kreatif, sebab meyakini bahwa gaya mengajar guru tersebut harus
disesuaikan dengan gaya belajar siswanya. Tuntutan mengajar dengan pola
demikian hanya dapat dilakukan oleh guru-guru yang handal, punya
dedikasi dan kompetensi mengajar yang baik. Dengan demikian sekolah yang
menerapkan konsep ini, biasanya jadwal pelatihan guru sangat padat.
Guru benar-benar diharapkan profesional dan menjadi agen perubah.
Sungguh, luar biasa jika setiap sekolah
di Indonesia melakukan restrukturisasi sekolah unggulan sebagaimana
indikator di atas. Setiap sekolah akan berlomba-lomba melakukan proses
pembelajaran yang dianggap terbaik, yang tentunya akan berdampak pada
kualitas lulusan yang baik pula. Dengan tidak melakukan seleksi siswa
pada penerimaan siswa baru, maka akan meniadakan kesenjangan antara
sekolahyang satu dengan sekolah yang lain, antara siswa satu dengan
siswa lainnya.
Dari uraian di atas, maka hakikat
sekolah unggul ditinjau dari perspektif multiple intelligences adalah
sekolah yang memiliki keunggulan dalam pelayanan kepada siswa dengan
memberikan kesempatan untuk mengembangkan kecerdasan siswa seoptimal
mungkin. Berpijak pada hal inilah, maka setiap sekolah –tanpa mengklaim
dirinya sebagai sekolah unggulan- yang berhasil mengubah paradigma, dari
the best input menjadi the best process dan the best output, maka
secara otomatis, masyarakat akan mengklaim bahwa sekolah yang
demikianlah, yang layak menjadi sekolah unggulan.
Dengan mengubah paradigma inilah,
kiranya kita yang selama ini selalu mengidentikkan sekolah unggul
merupakan sekolah yang didesain dengan bangunan megah yang melakukan
seleksi siswa secara ketat menjadi sekolah yang “apa adanya”. Sekolah
unggul merupakan sekolah yang “berani” menerima siswanya dengan kondisi
apa pun, yang selanjutnya diberikan proses pembelajaran yang berkualitas
(the best proccess). Dengan demikian, sekolah tersebut akan mampu
melahirkan lulusan-lulusan berdaya saing tinggi (the best output) yang
mampu berkompetisi di masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar